Laman

Sabtu, 09 Juni 2012

Islam dan percaturan Ideologi Dunia, Sebuah Ikhtiar dalam Upaya Merekayasa Kembali Peradaban Dunia

A. Abstraksi
Islam sebagai sebuah ajaran kebenaran bernilai ideologis sebenarnya cukup mampu untuk dipersandingkan dengan ideologi-ideologi besar dunia yang berlatar-kultural Eropa seperti sosialisme dan Kapitalisme-Liberal. Rekayasa peradaban yang pernah dilakukan oleh Islam menghantarkan bangsa-bangsa Arab, Moghul dan Seljuk yang beragama Islam dan mengadopsi ajarannya menjadi imperium-imperium besar dengan kejayaan yang tercatat dengan tinta emas dalam sejarah dunia.

Peradaban-peradaban yang dibangun atas dasar ajaran ini kemudian menjadi penyambung peradaban maju Eropa modern dengan budaya tinggi Helenistik-Yunani, dan secara langsung ataupun tidak langsung menjadi penyumbang bagi fondasi kemajuan peradaban dan kebudayaan modern Eropa serta dunia. Sangat absurd jika dikemudian hari, Islam kemudian banyak ditinggalkan oleh generasi muda terpelajar muslim dan beralih pada pandangan filsuf / ideologi dan pemikiran Eropa.

Pemahaman yang tidak komprehensif dan cenderung tekstual terhadap mushaf dan codex aturan syar’i pada Islam juga berujung pada kondisi yang kurang menyenangkan dalam hubungan lintas agama dunia. Alih-alih sebagai sebuah ajaran kompleks yang rahmatan lil ‘alamin, Islam berujung pada cap negatif sebagai sebuah ajaran yang dibangun dengan darah, pedang dan kekerasan.

B. Latar Belakang Masalah
Permasalahan Ideologi, gerakan dan interaksi antar pemikiran adalah masalah yang sudah kerap menjadi diskursus baik secara parsial-internal organ masing-masing, maupun lintas kelompok sosial. Persilangan pemikiran ini secara positif-dialiektis melahirkan bentuk solusi yang berbeda tapi tidak jarang pula menimbulkan konflik laten dan atau terbuka.

Negara-negara besar dan adidaya Eropa dengan ideologi yang diadopsinya sering menimbulkan silang-pendapat yang alot dengan negara-negara timur dengan pemikiran dan ideologi kultural atau keagamaan. Internasionalisasi pemikiran, aneksasi ideologis yang berujung pada konflik-dialektis yang kurang positif melahirkan stigma negatif yang menutup keran inklusifisme masing-masing ideologi terhadap kemungkinan pemikiran alternatif lintas kultural.

Permasalahan-permasalahan yang timbul kemudian menjadi tidak jauh dari penegasian dan penolakan tanpa mengkaji baik-buruk sebuah ideologi, dan jauh dari kemungkinan akseptasi nan akulturatif. Tidaklah mengherankan jika kemudian kaum muda lebih tertarik untuk terbawa arus trend pemikiran yang populer, tanpa mempertimbangkan budaya lokal yang turun-temurun dan ajaran keagamaan yang terpatri jauh seketika yang bersangkutan orok. Alih-alih dikaji secara komprehensif, pemahaman gerakan ideologis acapkali menimbulkan skema euforia yang terjebak dengan trend yang berubah dan dinamis tanpa sangkutan epistemik yang lebih dalam. Jebakan-jebakan ini menimbulkan pemahaman ideologis yang dangkal dan mudah terkikis.

Kaum muda sebagai generasi penerus menerima asumsi umum sebagai tonggak estafet gerakan perubahan suatu entitas bangsa dan negara. Menjadi sangat miris jika kemudian generasi ini tidak memiliki pemahaman holistik akan ide-ide tertentu yang secara subjektif dipilihnya dan menjadi terombang-ambing dalam lintas peradaban dan pemikiran dunia.

Islam senyatanya sebagai sebuah ajaran yang bernilai kompleks, memiliki keseluruhan bidang pembahasan dan metodologis untuk memanusiakan manusia (humanis) namun tetap memiliki nilai religius tinggi (divine). Sejarah mencatat keberhasilan Islam dengan tinta emas peradaban dunia. Justifikasi tanpa dasar dari beberapa ideologi dan bangsa terhadap ajaran ini seyogyanya dapat diantisipasi dengan solusi matang yang memunculkan diskursus sehat lintas entitas. Penghindaran terhadap itu hanya akan memunculkan kesan kedunguan yang malah menimbulkan tingkat justifikasi yang berujung pada sikap menyepelekan.

Untuk itulah generasi muslim harusnya bangkit seperti generasi terdahulu dalam mencintai pengetahuan dan peradaban tinggi secara penuh yang kemudian melahirkan para profesional dalam bidangnya. Generasi mana menjadi kelompok insan cita baru generasi muslim yang inklusif dalam pemikiran namun memiliki filter tegas atas budaya negatif yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Karenanyalah, pada makalah ini, berdasarkan pada latar belakang seperti tersebut di atas, penulis menyajikan makalah dengan judul ; Islam dan percaturan Ideologi Dunia, Sebuah Ikhtiar dalam Upaya Merekayasa Kembali Peradaban Dunia


Pembahasan
A. Pengertian Ideologi
Ideologi menurut Destutt de Tracy adalah suatu studi terhadap ide-ide atau pemikiran tertentu. Menurut Descartes dimaknai sebagai inti dari semua pemikiran manusia. Machiavelli yang terkenal dengan bukunya Il Principe mengemukakan bahwa ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa.

Di sisi yang lain, berikut pengertian ideologi berdasarkan pemahaman dan pemikiran masing-masing filsuf ;
  1. Thomas Hobbes ; suatu cara untuk melindungi kekuasaan pemerintah agar dapat bertahan dan mengatut rakyatnya.
  2. Karl H. Marx ; alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat
  3. Francis Bacon ; sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup
  4. Taqiyuddin an Nabhani ; ideologi (mabda’) adalah aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Yang dimaksud dengan aqidah adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan hidup, serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan disamping hubungannya dengan Zat yang ada sebelum dan sesudah alam kehidupan di dunia ini.
Begitu banyak pendapat dari beragam filsuf yang bersandar dari epistemologi yang diadopsi masing-masing, sehingga secara garis besar dapat disimpulkan bahwa ideologi adalah pemikiran yang mencakup konsepsi mendasar tentang kehidupan dan memiliki metode untuk merasionalkan pemikiran tersebut berupa fakta, juga metode untuk menjaga pemikiran tersebut agar tidak menjadi absurd dari pemikiran-pemikiran yang lain serta metode untuk menyebarkan pemikiran tersebut.

Pemahaman Ideologi merupakan kesinambungan dari pemahaman epistemik terhadap nilai kebenaran yang ditakar secara ontologik, dimana ideologi kemudian merupakan dasar kebenaran tersebut pada tataran aplikasi untuk dianut dan digugu oleh segenap manusia yang memakai dan menggunakannya. Nilai kebenaran ini ada yang berbentuk kritik atas ideologi sebelumnya dengan memunculkan skema solusi tertentu. Di bagian yang berbeda, ideologi juga muncul sebagai pola pikir komunal masyarakat yang tersaripati.

Pemahaman pasca Renaissance menunjukkan bagaimana ideologi didapat dari pemikiran-pemikiran para filsuf Eropa[1] yang berpikir tentang segala hal yang terjadi di masyarakat. Pemikiran-pemikiran ini yang kemudian secara ilmu pengetahuan menurunkan beragam ideologi modern yang digunakan oleh bangsa dan negara tertentu. Dalam banyak kasus, ideologi yang berbentuk kritik terhadap ideologi lainnya memunculkan skema perang pemikiran dialektis di tataran aplikasi. Utamanya terjadi pada ideologi yang berkembang dan menyangkut skema ekonomi-politik suatu masyarakat.

Bentuk kritik suatu ideologi seperti yang terpaparkan dalam skema Sosialisme kontra Kapitalisme-Liberal, dimana Sosialisme merupakan kritik ekonomi-politik atas implementasi ideologis Kapitalistik yang kemudian menimbulkan strata sosial yang tajam antara kaum buruh dan kapitalis-industri. Solusi sosialisme yang diasumsikan dapat menjawab kebuntuan ini, mengutarakan kritik tajam atas sistem ekonomi kapitalistik yang dibangun di banyak negara-negara Eropa. Bentuk berikutnya, kritik yang bersumber dari kebuntuan keadaan ekonomi-politik ini muncul sebagai sebuah ideologi yang established dan diadopsi di beberapa negara baik di belahan benua Eropa, Asia, Amerika Selatan dan Afrika.

Kritik sosialisme ini untuk kemudian memunculkan sebuah ciri kritik yang lebih ekstrim dengan menurunkan ideologi Komunisme dan sebentuk ideologi-ideologi yang secara parsial disesuaikan dengan negara-negara pengadopsinya seperti; Marxisme, Leninisme-Sovyet Rusia, Maoisme-RRC, Komunisme Anarkis dan Komunisme Agamais. Pada bentukan yang terakhir yakni Komunisme Agamais, beberapa pemuka agama besar dunia seperti Kristen, Tao, Jain, Hindu dan Buddha telah menyisipkan ajaran-ajaran ideologi Komunis ke dalam tatanan sosial keagamaan mereka. Walaupun dalam hal ini Islam masih belum mengikuti tatanan tersebut, namun beberapa ahli juga sudah menemukan paralelisasi antara Komunisme dengan konsep Ekonomi-Syari’ah seperti kewajiban zakat dan haramnya riba’.

Dalam sebuah ideologi, terdapat ciri khusus manifesto, baik tertulis ataupun tidak, yang menjadi ciri pembeda dan menjadi manual aplikasi dalam pelaksanaan aplikasi tertentu. Ciri mana merupakan usaha yang dilakukan komunitas yang mengadopsi ideologi tersebut dalam mencapai tujuan ideologi yang diidam-idamkan, kontra dengan tujuan ideologi lainnya. Bahkan walaupun cita-cita yang dituju adalah sama secara esensi, namun melalui ideologi yang berbeda, aplikasi dan metode yang digunakan untuk mencapai cita-cita tersebut juga akan berbeda. Bisa dimengerti bahwa ideologi, sebagai sebuah metode pencapaian tujuan, menghasilkan cara yang berbeda satu sama lainnya bergantung perspektif kompleks masing-masing ideologi yang termaktub dalam manual dan manifesto-nya sebagai sebuah aturan main baku yang wajib dipatuhi untuk pencapaian secara komunal tujuan-tujuan tersebut.

B. Tumbuh Kembang Ideologi dalam Masyarakat
Seperti disebutkan sebelumnya, sebuah ideologi bisa berasal dari pola pikir komunal masyarakat tertentu yang kemudian tersaripati, kritik atas sebuah pemikiran dan ideologi yang termapankan, atau pemikiran seorang filsuf yang kemudian berkembang luas di masyarakat. Tumbuh kembang ideologi ini bergantung pada faktor-faktor utama yang mencirikan sebuah ideologi masih tetap relevan dan berkembang atau tidak. Faktor-faktor itu antara lain :
  1. Masih adanya masyarakat atau komunitas yang mengadopsi ideologi tersebut sebagai manual gerakannya. Popularitas ideologi dinilai dari perspektif ini, kuantitas pemeluk ideologi tertentu menunjukkan bahwa dalam kurun waktu (tempo) tertentu ideologi tersebut merupakan trend-setter popularitas ideologis di kelompok sosial / masyarakat. 
  2. Terdapat pemikir yang menguatkan pemikiran ideologis sebelumnya dan atau melakukan revitalisasi pemikiran atas ideologi tersebut, dan
  3. Tujuan dari sebuah ideologi masih populis untuk menjadi issue yang akan dicapai namun belum ada pemikiran / ideologi tandingan untuk pencapaian efektif atas tujuan tersebut.
Dari faktor-faktor di atas, dapat diambil asumsi bahwa pemikiran berlandaskan sebuah ideologi tertentu yang diadopsi untuk kemudian digunakan bergantung pada subjektifitas individu atau kelompok dalam masyarakat. Subjektifitas pemilihan dan pengadopsian ideologi tertentu ini termotivasi oleh berbagai macam hal, antara lain :
  1. Nilai dasar yang berkembang di ulayat masyarakat secara turun-temurun,
  2. Nilai dasar yang bersandarkan kepada agama dan kepercayaan yang berkembang di masyarakat / komunitas tersebut, 
  3. Tingkat dan bentuk pendidikan sebagai sebuah faktor penentu perubahan pemikiran yang berkembang pada individu / kelompok tertentu dalam masyarakat,
  4. Tingkat inklusifitas kelompok / masyarakat ketika berinteraksi dengan kelompok / masyarakat di luar komunitasnya, termasuk di dalamnya tingkat pemahaman dan kepercayaan pada nilai kebajikan yang sudah ada dan berkembang di masyarakat (termapankan), bentuk interaksi ideologikal-kultural ekstra-masyarakat / komunitas, serta individu yang kemudian ter-influence oleh pemahaman pemikiran tersebut dalam strata sosial kelompok / masyarakat.
Klaim mengenai kebaikan sebuah ideologi seringkali disampaikan secara subjektif dengan memaparkan informasi dan data parsial-baik kepada kelompok ikutan. Dalam interaksi sosial berbentuk patron-klien, faktor kepentingan individu seringkali menjadi penentu sebuah ideologi kemudian digugu berbanding dengan kepentingan kelompok sosial yang lebih luas. Dalam hal ini kepentingan memiliki pengaruh yang signifikan bagi strata sosial menengah dalam kelompok untuk tunduk dan patuh pada manifesto ideologi yang ada, yang mana pada strata kelompok dan kelas sosial yang lebih rendah, pemaknaan ideologis yang dipaparkan lebih kepada prosesi indoktrinasi yang mengikat dan kaku.
 
Dalam sebuah kelompok sosial, ideologi berperan baik sebagai penetap tujuan, metode dan sebab terkumpulnya individu-individu dalam sebuah kelompok sosial. Pengorganisiran kelompok biasanya bersumber dari skema manifesto yang sudah ditetapkan oleh ideologi yang diadopsi. Dapat dikatakan bahwa ketika ideologi organisasi tidak ada, sebuah organisasi nihil untuk dapat bergerak bahkan untuk mencapai tujuan-tujuan kecil-jangka pendek sekalipun.
 
C. Islam Sebagai Sebuah Ideologi
Perspektif Islam sebagai sebuah ideologi banyak menimbulkan kontroversi baik di kalangan pemeluk Islam orthodox, pun yang lebih sekular. Bahkan untuk disematkan titel “agama”, di beberapa kelompok Islam dianggap sebagai pengkerdilan Islam sendiri. Sebelum menilik Islam lebih jauh, mengambil akar epistemologis dari pemahaman ke-Islaman dipandang perlu sebelum menurunkan pemahaman kebenaran tersebut ke titik ideologis yang lebih kompleks.
 
Islam secara epistemik bermula dari pemahaman tentang kebenaran tauhid. Secara etimologi, terminologi tauhid berasal dari kata bahasa arab ahad yang bermakna satu, tunggal, esa. Terminologi tauhid ini menjurus kepada pemaknaan monotheistik dimana dalam Islam secara tegas memahamkan kepada para pemeluknya tentang tunggalnya Tuhan. Allah, sebagai sebutan umum setiap pemeluk Islam (muslim / muslimin) terhadap tuhannya, dipercaya tunggal ‘tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.
 
Ditilik dari historis peradaban semitik, Abraham yang diakui sebagai bapak para nabi dan rasul (Abu al Anbiyaa’) menetapkan bentuk ke-tauhid-an ini sebagai fondasi ajaran-ajarannya yang diwariskan turun-temurun. Bentuk monotheisme mana yang pada kaum muslim termaktub dalam kalimah syahadah ; Laa ilaha ila Allah yang merupakan reformasi terakhir ajaran-ajaran Abraham setelah lebih dari ribuan tahun terapresiasi dengan budaya lokal kuno kaum Yahudi yang melakukan penyembahan berhala (paganisme).

Reformasi pertama ajaran monotheisme Abraham terjadi melalui turunnya kitab suci penuntun ajaran yang jatuh ke tangan Moses dan saudaranya Aaron (Torakh), dimana masyarakat yahudi (Bani Isra’il) pada saat itu telah pula menyelewengkan ajaran tersebut. Faktor utama penyelewengan ini sering diasosiasikan dengan polytheisme-pharaoh-centric yang bersumber dari ajaran Pharaoh penguasa Mesir yang secara pagan menyembah banyak dewa dengan dewa tertinggi adalah dewa Ra (dewa matahari) dimana penentangan ajaran tersebut oleh Moses menyebabkan keluarnya bangsa yahudi dari tanah mesir. Agama mesir kuno ini jika dilihat dari sisi politis merupakan sebuah ajaran yang menekankan ketundukan terhadap dewa tertinggi dengan Pharaoh sebagai putra dewa tertinggi (Ra) adalah penguasa tunggal alam semesta yang wajib digugu oleh segenap rakyat Mesir. Di dalam kitab suci al Qur’an diceritakan sekelumit mengenai kronologis penentangan ini dan menyebabkan Moses menjadi orang yang paling dicari (buron) di seantero negeri Mesir.

Reformasi kedua terjadi dengan turunnya kitab Mazmur (Zabur) ke tangan David dimana kaum yahudi terjebak paganisme yang sama dengan yang terjadi pada era Moses. Begitupun pada fase reformasi ketiga dengan turunnya kitab Injil (Holy Bibel) di tangan Jesus (Isa putra Maryam). Bahkan pada era ini yahudi sudah banyak meninggalkan ritus penyembahan seperti yang pernah diajarkan oleh Abraham, dan menggantinya dengan ritus-ritus penyembahan yang menyimpang dari sebelumnya. Titik kulminasi pembangkangan kaum yahudi sampai pada taraf penghukuman dengan bentuk penyaliban terhadap Jesus yang digagalkan dengan campur tangan tuhan sendiri.
 
Reformasi keempat dan terakhir terhadap penyimpangan monotheisme datang jauh dari pedalaman Gurun Arabia yang memisahkan keturunan kabilah yahudi bani Ishak dengan bani Ismail, dengan turunnya ayat-ayat Allah kepada Muhammad, praktis tonggak penyambung monotheisme Abraham terlengkapi dan terpenuhi untuk dapat disebarkan ke seluruh muka bumi dari ajaran ini. Ajaran Muhammad yang disebut Islam menetapkan bentuk-bentuk monotheisme awal Abraham dan disempurnakan dengan bentuk ritus dan penyembahan tradisional; persis sama seperti apa yang dilakukan oleh Abraham dalam melakukan penyembahan kepada tuhannya. Disisi lain, ajaran ini juga membahas kompleksitas hukum-hukum lainnya mengenai peri-kehidupan manusia hingga akhir zaman, yang pada bentuk reformasi ajaran sebelumnya tidak tercukupi akibat dari pembangkangan bangsa yahudi.
 
Islam dirujuk sebagai sebuah ideologi gerakan dimulai kembali dengan bentuknya yang sedikit lebih ekstrim ketika masa penjajahan barat terhadap negara-negara mayoritas muslim (negeri-negeri timur). Keruntuhan dan kebangkrutan peradaban Islam yang ditambah dengan penderitaan dan kepedihan penjajahan, membuat beberapa imam ajaran ini kemudian memunculkan suatu pemahaman keagamaan yang dogmatik-tekstual, yang dimaksudkan untuk membakar semangat perlawanan dari kaum muslimin. Bentuk ideologi-dogmatik ini semakin efektif dengan ditambah pemimpin-pemimpin perlawanan bersikap militeristik yang mampu membakar semangat perang di masing-masing bangsa.
 
D. Rekayasa Peradaban di bawah Ideologi Islam
D.1. Arab pra-Islam
Jazirah Arabia pra-Islam tidak lebih dari gurun lengang dengan unta, kaktus dan kabilah-kabilah suku Arab yang hidup dalam tenda-tenda dengan jumlah yang kecil. Kecuali pada kota Yatsrib dan Mekkah yang menjadi oase para pedagang yang berdagang di sepanjang jalur sutra, praktis keramaian terjadi hanya sekali dalam satu tahun yakni pada musim haji tiba. Suku-suku kabilah yang hidup di gurun ini adalah suku bangsa bar-bar yang membentuk kebudayaan gurun dan suka berperang satu sama lain. Ketidak-akuran dan peperangan antar suku-kabilah ini seringkali dipicu oleh hal-hal sepele, dengan tidak jarang menjadi peperangan suku yang berkepanjangan.
 
Sejak zaman dahulu, wilayah jazirah Arabia terbagi atas tiga bagian;
  1. Kawasan Utara dan Barat disebut Hijaz. Kawasan ini merentang dari Palestina ke Yaman, di wilayah sekitar Laut Merah dengan banyak gurun tandus dan area-area kasar berbatu. Walaupun begitu, kawasan ini lebih dikenal dalam sejarah tiga agama daripada bagian wilayah jazirah lainnya, dimana daerah ini dikenal dengan beragam kenyataan spiritual dan religius yang pernah terjadi di sepanjang daerah ini. Selain itu di kawasan ini terdapat Ka’bah bayt Allah yang dibangun oleh Abraham bersama anaknya Ismail. Area sekitar Ka’bah sendiri telah dihormati oleh orang Arab dan non-Arab sejak berabad-abad sebelum Islam sebagai sebuah ajaran lahir. Kenyataan ini dapat dilihat dari pengharaman terjadinya peperangan di lingkungan Ka’bah. Kota-kota penting di daerah ini meliputi ; Mekkah, Madinah (Yatsrib) dan Tha’if, dengan Jeddah dan Yanbu’ sebagai sebuah sentra pelayanan pelabuhan peradaban untuk penduduk Mekkah dan Medinah yang terdapat di pantai Laut Merah.
  2. Kawasan Tengah dan Timur yang dikenal sebagai Gurun Arab meliputi Zona Najd dan dataran tinggi berpenduduk jarang.
  3. Kawasan Yaman.
Secara geo-politik, posisi gurun inilah yang memisahkan dua imperium besar pada era itu; Persia Raya dan Imperium Romawi. Dua negara adidaya yang kekuasaannya membentang luas dan juga terjebak pada kondisi perang dingin di setiap areal perbatasannya. Di sebelah selatan gurun ini terdapat kerajaan Yaman yang subur dan makmur yang merupakan kerajaan protektorat Persia sebelum akhirnya direbut oleh Imperium Romawi. Dengan kondisi psikologis sosial yang jauh dari kondisi berperadaban, tanah tandus yang tidak bernilai ekonomis dan letak yang tidak strategis dari sisi politik, membuat dua negara adidaya ini enggan untuk menganeksasi daerah ini sebagai bagian dari negaranya.
 
Namun dibalik ketidak-beradaban suku-kabilah Arabia ini, terdapat keunggulan-keunggulan orisinal khas serta nilai moral baik suku bangsa Arab yang telah terasah dari tradisi lisan gurun. Keunggulan-keunggulan yang mana tidak selalu dimiliki oleh suku bangsa lain secara kompeten dan menyeluruh, seperti; 
  1. Suku-Kabilah Arab dikenal sangat menepati janji bahkan janji yang paling sulit sekalipun. Mereka terbiasa bernazar dengan janji yang sangat-sangat sulit untuk terwujud dan berusaha semaksimal mungkin mewujudkan janji (nazar)nya,
  2. Pola pendidikan suku-kabilah Arab yang berupa tradisi lisan, menciptakan bentuk kesustraan kuno yang cukup maju, tata bahasa yang kompleks serta kemampuan daya ingat yang tinggi. Hal ini memungkinkan orang Arab untuk dengan mudah menghafal syair-syair bahkan yang paling panjang dan kompleks sekalipun,
  3. Bangsa Arab terkenal sebagai suku bangsa yang menjunjung tinggi kebanggaan dan kehormatan suku (kelompok) bahkan sama tinggi dengan kebanggaan dan kehormatan pribadi, melarikan diri dari musuh merupakan aib yang sangat besar dan sangat memalukan,
  4. Terdidik dengan iklim yang kejam, kemampuan bertahan hidup bangsa Arab sangat tinggi di padang gurun yang kering serta kemampuan strategi perang gurun bangsa Arab termasuk yang terbaik di dunia. Orang Arab juga dikenal sebagai suku bangsa yang mahir dalam berkuda dan memanah,
Bagi beberapa ahli sejarah dan filolog, orang Arab dianggap pernah memiliki peradaban yang walaupun hanya berlangsung dalam kurun waktu yang singkat. Hal ini disandarkan oleh faktor-faktor:
  1. Sejarawan Yunani Diodore (hidup sebelum masehi), pernah menyebutkan bahwa penguasa Yunani; Demetrius pernah tiba di Patra dengan maksud menduduki kota itu. Namun dapat diatasi dengan damai oleh suku bangsa Arab.
  2. Kesempurnaan bahasa Arab yang walaupun tidak dapat dipandang sebagai sebuah bahasa yang independen dan memiliki hubungan dengan bahasa Ibrani, Suriah, Asiria dan Chaldea. Disimpulkan bahwa pada dasarnya semua bahasa ini bersumber dari satu bahasa, dan bahasa Arab mencapai titik kesempurnaannya ketika masih terpadu dengan bahasa Ibrani dan Asiria.
  3. Penemuan arkeologi menyatakan pernah ada peradaban besar di jazirah khususnya di wilayah Yaman. Peradaban mana disebutkan sebagai peradaban Saba’ dan Ma’arib dalam kitab Perjanjian Lama dan sejarawan Yunani; Herodotus.
Namun dengan pendapat ahli yang demikian, secara umum haruslah diingat bahwa peradaban itu tidak memandu kita pada keseluruhan peradaban yang terwakilkan pada seluruh wilayah Jazirah Arabia, kecuali Hijaz yang dapat disimpulkan tidak memiliki jejak peradaban kecuali yang terdapat pada kota Patra. Mengutip pendapat Gustave Le Bon;
 
“Kecuali perbatasan utara, Arabia kebal dari serbuan asing, dan tak ada yang dapat mendudukinya. Para penakluk besar Iran (Persia), Romawi dan Yunani yang menjarahi seluruh dunia tidak memberikan perhatian sedikitpun kepada Arabia.” 
 
Selain itu terdapat referensi lainnya yang menunjukkan dan menegaskan bahwa secara umum orang Arab tidak memiliki secuilpun jejak-jejak peradaban, sehingga bangsa Arab praktis memiliki peradaban setelah Muhammad dan Islam ajarannya lahir.
 
D.2. Arab dan Islam
Seperti disebutkan sebelumnya, peradaban Arab muncul dan berkembang baik hingga ke puncak tertinggi tangga peradaban dunia setelah terjadi akulturasi dengan ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad. Keunggulan moral dan positif tradisi Arab dikawinkan dengan baik dengan ajaran-ajaran Islam sebagai sebuah ajaran rahmat dan dipaparkan dengan gamblang dan holistik melalui tingkah laku Muhammad.
 
Muhammad yang buta huruf, merupakan keturunan Ibrahim melalui putra pertamanya Ismail. Nasab Muhammad bin Abdullah seperti diriwayatkan oleh banyak perawi hadits (cari nasab nabi). Keluruhan budi pekerti Muhammad telah diakui oleh banyak orang dari kaum Arab Mekah. Kecerdasan mana menggabungkan kekuatan intelektual, emosional dan spiritual dengan gradasi tertinggi yang saat ini ramai disebut sebagai kecerdasan kenabian (prophetic intelligence). Bentuk kecerdasan ini pada Muhammad timbul dengan sendirinya dan merupakan takaran kenabian yang dimilikinya, berbeda dengan yang sekarang marak diseminarkan mengenai kecerdasan kenabian, bentuk yang ada menunjukkan kecerdasan kenabian buatan (artifisial) yang berusaha untuk menyerupai, alih-alih sama dengan kecerdasan kenabian yang dimiliki oleh Muhammad. Kecerdasan kenabian (prophetic intelligence) Muhammad inilah yang menjadi acuan hidup ajaran-ajaran Islam yang termaktub di dalam al Qur’an. Sehingga tidaklah mengherankan jika kaum muslim saat ini menentukan hukum-hukum (syari’ah) baik bersumber dari al Qur’an juga penjabaran di dalam hadits (perbuatan, perkataan dan diamnya Muhammad).
 
Dari pemaparan sebelumnya juga dijabarkan bagaimana reformasi ketauhidan menjadi salah satu kunci moralitas ajaran Islam selain pemaknaan hukum-hukum Islam (syari’ah) secara kontekstual dan disampaikan langsung oleh perbuatan dan perkataan Muhammad. Selain itu satu lagi kunci keberhasilan ajaran Islam yang diajarkan Muhammad kepada seluruh ummatnya adalah bentuk kecintaan kepada ilmu pengetahuan. Seperti bagaimana ayat-ayat al Qur’an juga menyebutkan keutamaan mencintai ilmu pengetahuan. Al Qur’an al Karim menyebutkan sebanyak 823 kali kata ‘ilm yang merujuk kepada ilmu pengetahuan, dimana hadits nabi juga menyatakan dengan tegas kepada seluruh muslim untuk mengejar kemanapun ilmu pengetahuan (al hikmah).
 
Fakta ini menunjukkan bahwa Islam sebagai sebuah ajaran memotivasi secara tegas ummatnya untuk rasional dan berpengetahuan. Ilmu tanpa Amal diasumsikan sebagai sebuah kedunguan yang walaupun dapat ditolerir, namun juga secara halus dikecam. Keutamaan orang-orang yang berilmu juga diganjar dengan ganjaran yang sangat baik melalui pahala di surga, serta diutamakan kedudukannya di mata sang pencipta (Allah). Motivasi ini yang menjadi kunci stimulus hausnya kaum muslimin akan al Hikmah al Muta’aliyah, sebentuk konsepsi akan ilmu pengetahuan tertinggi yang diyakini dapat membuka seluruh tabir ajaran Muhammad di dunia dan akhirat.
 
Muslim yang ta’at, pada masa awal mula-mula kerasulan Muhammad, masa Khulafa’ al Rasyiddiin hingga terbitnya imperium pertama Islam yang menyingkirkan sedikit demi sedikit kekuasaan geo-politik Romawi dan Persia merupakan penyumbang ilmu pengetahuan terbanyak atas bangunnya peradaban ini. Sederet nama-nama pemikir muslim di berbagai bidang ilmu pengetahuan juga adalah para imam sufistik dan pengemuka agama Islam yang mahsyur. Kontribusi para pemikir besar ini jugalah yang menyumbangkan fajar peradaban yang sama ke belahan benua Eropa pasca Perang Salib dan memunculkan Renaissance Eropa yang terlepas dari masa-masa abad kegelapan-pertengahan, hingga peradaban Eropa modern yang kita kenal kini.
 
E. Kapitalisme-Liberal, Sosialisme dan Islam
E.1 Kapitalisme-Liberal
Sejarah Kapitalisme Eropa bermula dari sejarah awal masa Renaissance, pasca Perang Salib, ketika bangsa Eropa berpikir untuk menemukan sumber rempah-rempah yang selama ini sampai ke daerah tersebut melalui jalur darat Asia (Jalur Sutra). Masing-masing kerajaan saat itu ; Portugis, Spanyol, Perancis, Belanda dan Inggris, lima kerajaan besar Eropa selain Germanium-Prussia mengirimkan ekspedisi-ekspedisi eksplorasi mereka ke timur dan barat untuk menemukan sumber rempah-rempah tersebut. Dari skema ekspedisi inilah kemudian kongsi-kongsi dagang terbentuk untuk kemudian menimbulkan penjajahan oleh bangsa-bangsa Eropa yang luas di seluruh penjuru dunia pada abad 13-19 masehi.
 
Fase ini dinamai dengan sistem ekonomi-politik merkantilis-imperialis, cikal bakal ekonomi kapitalis Eropa yang terbentuk dari konglomerasi kongsi dagang kelas kaum pricillia dan bourgeaois Eropa. Fase ekonomi merkantilis ini ditandai dengan pengurasan secara paksa kekayaan alam daerah jajahan dengan pribumi jajahan dijadikan sebagai pekerja buruh rendah yang dipekerjakan dengan sistem tak manusiawi dan bahkan perbudakan. Tidak dapat dipungkiri, selain imperium tua China dan keshogunan Jepang di Asia Timur, kerajaan Muang Thay di Asia Tenggara, Ottoman di Asia Kecil, banyak kerajaan di berbagai benua harus tunduk di bawah kaki penjajahan bangsa Eropa tersebut. Tidak terkecuali imperium-imperium serta kesultanan Arab-muslim yang mulai melemah dan terpecah-pecah menjadi beberapa bagian yang kecil-kecil, harus tunduk dan terjajah oleh Inggris dan Perancis di Afrika Utara.
 
Kondisi ini yang berlangsung selama kurang lebih 6 abad, melemahkan mental bangsa-bangsa terjajah menjadi inferior berbanding bangsa Eropa, karena skema penjajahan yang terjadi bukan hanya mematahkan perlawanan fisik, namun juga menghantam psikologis sosial bangsa-bangsa terjajah. Untuk kerajaan-kerajaan di benua Eropa sendiri, penjajahan menghasilkan buah yang sangat manis untuk pembangunan perekonomiannya. Perang Eropa yang terjadi sekitar abad 16 masehi juga tidak dapat meruntuhkan sendi-sendi superioritas yang dibangun dengan skema ekonomi-politik ini. Di masa-masa ini juga ilmu pengetahuan dan teknologi Eropa tumbuh dengan pesat dengan temuan-temuan yang dihasilkan hingga Revolusi Industri yang merubah paradigma ekonomi Eropa keseluruhan.
 
Penandaan Revolusi Industri juga menandakan evolusi ekonomi Eropa dari merkantilisme menuju kapitalisme. Kapitalisme yang dimaksud adalah penyandaran sistem ekonomi kepada pemilikan kapital-pasar yang oleh Adam Smith disaripatikan dan dianalogikan dengan tangan-tangan tersembunyi (Invisible Hands), dimana ekonomi atas azas kapital itu diatur secara penuh dalam skema pasar yang bebas  lepas dari campur tangan apapun, termasuk kebijakan negara. Dari teori inilah tumbuh skema Kapitalisme-Liberal (Kapitalisme-Bebas). Negara dalam bentuk apapun hanya memiliki kewajiban dan wewenang untuk menjamin keberadaan pasar yang bebas, dimana entitas dalam pasar tersebut bebas bersaing dalam skema supply-demand satu dengan lainnya dan dalam penentuan harga untuk keuntungannya.
 
Namun sistem ekonomi ini menimbulkan dampak alienasi yang besar terhadap buruh. Sistem ekonomi Kapitalisme-Liberal dan Revolusi Industri tidak dapat dipungkiri sebagai sebab timbulnya perbudakan model baru. Kota-kota industri di Inggris seperti Liverpool dan Chelsea mengalami boom-pertambahan buruh yang luar biasa, baik laki-laki dan perempuan, remaja dan dewasa, karena paradigma orang Eropa pedalaman (desa) yang silau dengan keglamoran kota besar Eropa dan ingin ikut mencoba mencicipi peruntungan untuk bekerja di kota industri (urbanisasi besar-besaran). Dampak dari ini terjadi pelonjakan jumlah tenaga kerja yang secara prinsip supply-demand menurunkan harga tenaga kerja itu untuk dibayar oleh perusahaan industri. Harga tenaga kerja kasar dan rendahan ini hampir sama rendahnya dengan harga budak dan pekerja buruh di daerah jajahan Eropa.
 
Kondisi ini diperparah dengan pemikiran yang menihilkan campur tangan pemerintah untuk menyamaratakan kesejahteraan yang diterima oleh kaum pemodal (kapitalis) untuk dibagi dengan buruhnya. Turunan dampak ini adalah penumpukan kemiskinan buruh di kota-kota industri, kriminalitas yang meningkat dan jurang pemisah kesejahteraan buruh-pemodal semakin dalam. Regulasi yang dipandang sebagai solusi yang harusnya dikeluarkan oleh pemerintah untuk menjamin kesejahteraan warga negaranya tidak kunjung dikeluarkan, di beberapa kota besar, bentuk kriminalitas sudah condong pada kondisi anarkis dan penjarahan kaum buruh di perusahaan-perusahaan tempat ia bekerja yang tentunya menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi kaum pemodal. Tindakan represif oleh para pemodal dijadikan jalan keluar utama mengatasi masalah ini yang berujung pada kriminalisasi buruh dengan bantuan aparat hukum (polisi).
 
Secara umum, sistem ekonomi Kapitalisme-Liberal memberi ruang kreasi dan dampak positif bagi terciptanya penemuan-penemuan baru. Bentuk persaingan antar entitas pasar dalam sistem ekonomi ini, memaksa masing-masing entitas untuk berpikir kreatif menemukan keunggulan dan nilai lebih dari produknya berbanding produk pesaingnya dan juga penetapan harga yang bersaing antar satu produk dengan produk lainnya (sejenis). Kemajuan industri modern dewasa ini merupakan sumbangsih penuh dari sistem ekonomi ini. Dalam kurun waktu sepuluh dasawarsa berlalu, perkembangan teknologi yang terjadi di seluruh belahan dunia muncul bagaikan jamur di musim hujan, saling bersaing baik dalam kualitas dan harga, yang jika dibayangkan hal yang ada sekarang (teknologi) pastinya tak terbayangkan di kurun-kurun waktu sebelumnya. Ruang mana juga menciptakan peradaban modern berteknologi tinggi yang tersebar dari satu negara ke negara lainnya secara lebih merata. Sehingga dibalik dampak negatif sistem ekonomi kapitalis ini, sumbangsih terhadap perekonomian tiap-tiap negara modern yang terbentuk (termasuk negara dunia ketiga yang terbentuk pasca Perang Dunia Kedua) sangatlah besar dalam memunculkan bentuk kesejahteraan awal di tiap-tiap negara tersebut.
 
Sebagai sebuah bentuk ideologi, sekularisasi yang tersemat dalam tubuh Kapitalisme-Liberal, memunculkan nilai estetika nan profan yang menihilkan religiusitas namun memberi stimulus positif bagi eksplorasi holistik ilmu pengetahuan ke segala bidang kehidupan manusia. Prinsip tabu yang secara dogmatik memberi batas eksplorasi pengetahuan bagi para ilmuwan dipecahkan sehingga muncul portal-portal menuju fakta empirik-objektif yang selama ini tersembunyi di baliknya. Dalam sisi seni dan budaya, estetika yang muncul dengan peniadaan sisi religius lama menghasilkan bentuk seni budaya baru, terutama pemaparan erotisisme dan sexualitas kembali ke ruang publik. Produk fashion, dunia hiburan, glamorisasi rekreasi, kesemuanya adalah bentukan sekularitas yang muncul sebagai bagian laten yang tersemat pada ideologi Kapitalisme-Liberal sebagai resapan yang mengendap dan tersaripati dengan baik era Renaissance Eropa yang mendobrak kesalehan semu era-Victorian abad pertengahan.
 
E.2 Sosialisme
Sejarah pemikiran sosialisme bermula dari pemikiran Karl Heinrich Marx, seorang filsuf-ekonom dari Jerman yang melihat bentuk penderitaan masyarakat Eropa kelas ekonomi menengah ke bawah, dan mulai berpikir tentang solusi yang memungkinkan sebagai jalan keluarnya. Seperti dipaparkan sebelumnya, Kapitalisme-Liberal dan Merkantilisme-Imperialis sebagai bentuk ekonomi-politik di era itu menimbulkan korban manusia yang tidak sedikit demi pembangunan kawasan Eropa dan pembangkitan kebudayaannya yang itupun berujung pada pemuasan kenikmatan oleh beberapa gelintir orang saja.
 
Marx merumuskan sebentuk metodologi dialektis-historis yang bersumber dari fakta sejarah peradaban mulai dari era purba, ketika manusia masih hidup berkelompok di dalam gua, egaliter dan membentuk komunalisasi kepemilikan (kepemilikan kolektif). Sebuah komunisme primitif dimana kepemilikan masih berbentuk kolektif (bukan pribadi), hubungan sosial yang penuh dengan kerja bersama, kesetaraan utuh dalam setiap aspek kehidupan termasuk kesetaraan seksual. Karena kepemilikan pribadi masih belum muncul, maka tidak mengherankan jika kemudian institusi-institusi serta perangkat penentu yakni keluarga dan negara, menjadi tidak begitu berkembang. Dalam masyarakat seperti ini, pemimpin tidak memiliki nilai superioritas terhadap anggota yang lain.
 
Bentuk komune-klan-matriarkal mana yang kemudian mencapai puncak tertinggi pada masa barbaris awal, ketika masyarakat mulai menetap dan membentuk sistem organisasi tani. Pada era barbaris berikutnya munculah cikal bakal peradaban dengan stimulus kepemilikan pribadi, sistem patriarki serta penghancuran sistem komune-matriarkal. Pembagian kerja serta strata sosial awal nan primitif mulai menempati sistem sosial berikut perangkat superioritas yang menggantikan egalitarian pada masa primitif. Titik ini yang oleh Marx disebut sebagai Revolusi Agraria, menjadi penentu munculnya surplus makanan yang dijadikan sebagai bagian utuh kepemilikan strata sosial tinggi (kepemilikan pribadi berdasarkan superioritas). Dalam fase yang dikenal pada studi antropologi, era barbaris dirujuk sebagai Jaman Neolitikum oleh para arkeolog.
 
Revolusi Agraria berikut sebentuk kompleksitas ikutannya; peradaban, patriarki dan kepemilikan pribadi mendeportasi Komunisme Primitif jauh dari sistem sosial yang dipakai. Alih-alih berusaha untuk kembali mengingat peradaban ini, patriarki sebagai sebuah sistem sosial memunculkan agresifitas yang disebarkan di ruang publik melalui superioritas-ambisional kaum pria plus penegakan institusi keluarga sebagai sebuah pakem. Komunitas keluarga yang terbelah dengan pemimpin keluarga patriarki ini membentuk komunitas-komunitas tetap pedesaan dengan pertanian sebagai sumber utama pendapatan. Dari sinilah kemudian institusi negara ; baik bentuk polis ataupun kerajaan muncul, merepresi komune-primitif lama dengan kesejahteraan kaum bangsawan dan eksploitasi kaum inferior melalui perbudakan.
 
Seperti dipaparkan di atas bagaimana kemudian manusia membentuk peradaban maju melalui ekonomi ; dimulai dari barter, penggunaan alat tukar (uang), institusi penyimpan uang dan penumpuk kekayaan (pemilikan pribadi), penggunaan uang giral, hingga ekonomi merkantilis-imperialis dan kapitalisme-liberal muncul sebagai suatu tatanan umum yang berlaku pada zaman modern awal. Semua fase-fase tersebut berlangsung di atas penindasan dan alienasi mayoritas manusia untuk menciptakan kelas sosial yang “berpikir” demi kemajuan peradaban. Kelas sosial mana yang kemudian ter-institusi secara elit dengan hanya segelintir manusia sebagai patron namun dengan pemaksaan hak dan kekuasaan yang mampu menganeksasi hak kemanusiaan kliennya.
 
Solusi Marx (Sosialisme) memunculkan sebuah gerakan ideologis sebagai dialektika ekonomi dan ideologi Kapitalisme, memunculkan egalitarianisme kuno demi tercapainya kondisi masyarakat sosialisme-utopia, sebuah konsepsi pemikiran Marx dimana terdapat kondisi kelompok manusia yang hidup dalam komune-lama di dunia modern. Sosialisme ini cepat menjadi populer dan dianut oleh banyak gerakan penentangan intimidasi dan dalam beberapa kasus menjadi sebuah ideologi gerakan. Ideologi mana yang memunculkan kesetimbangan hubungan industrial di industri modern dewasa ini.
 
Dalam taraf aplikasi yang disesuaikan dengan kondisi lokal masyarakat, sosialisme Marx mengalami transformasi menjadi Komunisme yang dianut oleh gerakan Revolusi Oktober-Bolshevick Rusia. Perkembangan lebih lanjut menjadi ideologi negara dengan campur tangan Lenin dalam pemaknaan sosialisme Marxism yang termaktub dalam manifesto komunisme yang dipakai Uni-Sovyet. Walaupun dewasa ini banyak negara-negara berpaham Komunisme yang telah tumbang ataupun mengalami kekacauan internal, Komunisme tetap menawarkan sisi positif di dalam pemikirannya dimana penguasaan atas barang secara individual ditiadakan hingga pemisah antar kelas sosial-ekonomi menjadi sangat kabur dan cenderung dekat. Semua warga negara adalah buruh atau pekerja dimana negaralah perusahaannya. Tidak mengherankan jika pada negara-negara sosialisme-komunis, pendidikan, kesehatan dan hajat hidup lainnya yang menguasai orang banyak sangat mudah untuk diakses. Karena kesejahteraan negara dalam perspektif komunisme-sosialis bersumber dari kesejahteraan komunal warganya.
 
Namun, komunisme dan sosialisme seringkali memunculkan bentuk kekuasaan yang otoriter dan cenderung tiran. Memakai sistem politik Partai Tunggal (single party), tidak ada oposisi yang dapat mengontrol jalannya kebijakan dan kekuasaan. Pemimpin negara adalah pemimpin partai dimana birokrasi negara diisi oleh kader-kader partai komunis. Dengan kekuasaan yang despot, muncul ketidak-transparanan dalam pembiayaan negara dan birokrasi. Hal ini lebih lanjut memunculkan anggatan yang tidak akuntable. Tidak heran jika kemudian kehancuran negara-negara komunis dimulai dari korupsi yang merajalela di tataran birokrat negaranya. Kehancuran mana yang memunculkan perpecahan dan gerakan separatis dari tiap-tiap unifikasi daerah di negara komunis. Contoh dari kondisi ini adalah Uni-Sovyet dan Republik Sosialis China. Walaupun pemerintahan Republik Rakyat China masih dapat diselamatkan dengan contoh pemberantasan korupsi mereka yang sangat tegas, kebijakan ekonomi mereka saat ini juga sudah mengarah pada peran kapitalisme secara general yakni penerapan kapitalisme-negara.
 
E.3 Islam dalam Aplikasi Ideologis
Sebagai sebuah pandangan hidup manusia, Islam memiliki ajaran dengan kompleksitas yang mencakup pada tataran yang majemuk. Islam tidak berbicara dengan wacana yang melulu divine (ketuhanan), namun juga merambah tatanan kemanusiaan (humanisme) mencakup tuntutan perilaku secara ideologis, ekonomis dan ranah sosial lainnya seperti ekonomi.
 
Monolog-monolog Tuhan yang terjabar dari ayat-ayat al Qur’an menjabarkan begitu banyak hal yang tidak melulu menutup pada permasalahan syari’ah keagamaan saja, namun juga tuntunan lainnya yang jika dicermati sangat humanis. Keberadaan zakat, infaq dan sadaqah merupakan contoh aplikasi Islam dalam tataran ekonomis nan sosialis. Di sisi yang berbeda, Islam juga tidak menutup keutamaan dari hak kepemilikan pribadi (kaya), karena dengan kekayaan seorang manusia dapat menjadi terpandang jika ia cukup bijak untuk dapat menjadi dermawan.
 
Secara historis, Islam mengajarkan baik prinsip kepemimpinan yang demokratis, terpimpin penuh, maupun teokratik. Fiqh Siyasah merupakan rangkuman ajaran Islam (fiqh) yang mencakup bidang hukum sosial dan sosial politik. Aturan-aturan main yang termaktub di dalamnya jika dilihat dari kacamata dan perspektif modernitas kekinian, memiliki banyak kesamaan dengan prinsip-prinsip demokratis-egalitarianisme-liberal dan juga totalitarianisme-sosio-komunis. 
 
Seperti disebutkana dalam pemaparan sebelumnya, kompleksitas menu yang ditawarkan di dalam wacana ajaran Islam yang sedemikian kompleks, secara aplikatif telah menghantarkan masyarakat Arab yang terkenal bar-bar dan tak berperadaban menuju tingkat tertinggi kebudayaan manusia pada saat itu. Hal ini tidak lain disebabkan oleh kemajemukan bidang (ekstra-disipliner) ajaran Islam yang kemudian memotivasi mereka-mereka yang secara kaffah mempelajari ajaran ini dan menjadi haus akan ilmu pengetahuan. Para sarjana ini dikemudian hari menetapkan banyak teori yang sebenarnya merupakan cikal-bakal disiplin ideologi-ideologi modern sekarang.
 
Tidak banyak yang mengetahui bahwa prinsip sekulerisme (pemisahan ranah publik pemerintahan dengan urusan-urusan private manusia salah satunya keagamaan), merupakan domain pemikiran dari sarjana Islam. Contoh lainnya seperti prinsip-prinsip egalitarianisme merupakan fase lebih lanjut dari cara Nabi memandang budak dan berusaha memerdekakannya (anti-perbudakan), metode jaring pengaman sosial (Social Safety Net) merupakan aplikasi modern dari zakat, infaq dan sadaqah, dan bahkan bentuk sekolah serta universitas modern banyak mengambil contoh dari tata cara (manner) majlis-majlis bahkan perpustakaan muslim era khilafah. Prinsip-prinsip yang kemudian mengemuka dari aplikasi negara-negara barat tanpa pernah kita mengetahui dari mana sumber-sumbernya.
 
Karenanya, seperti disebutkan di awal, jika ideologi dimaknai sebagai cara pandang aplikatif dari kehidupan umum manusia, Islam pantas menyandang terminologi ini dikarenakan berbanding ideologi lain yang melulu memandang hidup dalam perspektif materil, Islam memaparkan jauh sebelumnya perspektif yang lebih baik. Alih-alih terjebak dalam pakem keagamaan melulu, Islam sebagai sebuah ajaran telah menunjukkan pada dunia bahwa ianya mampu menuntun manusia menuju peradaban tinggi yang diidam-idamkan. Kahttp://www.blogger.com/homerenanya Islam sebagai sebuah ideologi yang digugu sebagai sebuah tumpuan peradaban sangat mungkin untuk sekali lagi melakukan perubahan sosial yang massif lagi rekonstruktif.
 
 
Penutup
Islam sebagai sebuah ideologi yang digugu sebagai sebuah tumpuan peradaban sangat mungkin untuk sekali lagi melakukan perubahan sosial yang massif lagi rekonstruktif, dan mengantarkan sekali lagi umat manusia pada titik tertinggi peradabannya. Hal ini dimungkinkan mengingat sejarah peradaban yang telah terbentuk oleh asimilasi dan akulturasi ajaran Islam pada kebijaksanaan lokal dari masing-masing kebudayaan dan masyarakat nomaden (kabilah). Karenanya untuk generasi muda muslim yang menjadi ujung tombak masa depan peradaban, perlu untuk mempelajari Islam secara bersungguh-sungguh dan juga kaffah yang dengannya diharapkan kelak dapat membentuk lingkar peradaban umat manusia yang lebih sempurna dari pada sekarang.
 

(tulisan ini adalah bagian dari makalah pribadi penulis sebagai bagian dari syarat mengikuti LK III / Advance Training Badko HMI Sumatera Utara)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar