Laman

Jumat, 22 Juni 2012

Realisasi Hak Pendidikan Nasional

Pendidikan dapat dimaknai sebagai sebuah proses memanusiakan manusia. Definisi yang alih-alih tercapai ketika pendidikan sebagai sebuah hak komunal manusia kemudian dicerabut dengan pemberian pelbagai kewajiban pendanaan yang menciptakan jurang akses yang jauh berbeda antara individu yang berada pada kelas sosial yang mapan secara materi-ekonomis dan yang tidak. Kondisi ini kemudian menciptakan komunitas terpelajar yang memiliki psikologis jamak kelas menengah ke atas, yang mana penumbuhan jiwa kritis antar kelas sosial sebagai sebuah dialektika sosial menjadi nihil untuk terbentuk di kalangan para terpelajar tersebut.
            Dunia pendidikan tinggi seringnya dipandang sebagai batu loncatan dari perpindahan kelas sosial di masyarakat. Akses terhadap kampus yang bermutu dan bonafide sering terhalang dengan beragam metode yang menghambat bakal calon mahasiswa bukan saja dari aspek mutu nilai-bakat individual semata, namun juga budaya hidup kelas sosialnya. Belum lagi persebaran beasiswa yang oleh para mahasiswa diasumsikan sebagai bala bantuan materil yang sangat penting demi menunjang kualitas pendidikannya.
            Saat ini sedang maraknya di seluruh belahan dunia mempermasalahkan tingginya biaya pendidikan. Issue yang senyatanya menjadi klasik untuk dibicarakan tetapi tetap menyentuh seluruh aspek kehidupan sosial karena merupakan sebuah permasalahan bersama dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Pembiayaan pendidikan yang tinggi menjadi sulit dijangkau oleh masyarakat dengan kelas ekonomi yang lemah. Alhasil, jangankan untuk mencapai tingkat pendidikan tinggi seperti yang dicita-citakan, anak-anak dari kelas ekonomi lemah ini sering terhenti proses pendidikannya di level yang dicanangkan sebagai tingkatan wajib belajar oleh pemerintah kita.
            Menyoal regulasi wajib belajar, konstitusi kita saling bertentangan dalam pemaknaan wajib belajar sebagai sebuah hak namun memiliki konsekuensi kewajiban pembiayaan yang itupun tidaklah kecil. Kebijakan otonomi sekolah melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), acapkali menimbulkan dualisme kepentingan antara menginginkan pendidikan yang bermutu dengan pendanaan sekolah yang otonom, alih-alih dibiayai penuh oleh negara dalam perspektif kewajiban pemenuhan kebutuhan publik. Alokasi dana yang telah dianggarkan oleh pemerintah demi pembiayaan pendidikan dan perangkat-perangkatnya juga seringkali menimbulkan ketidak-transparanan dalam tataran aplikasi dan menimbulkan tanda tanya besar dalam penggunaannya. Dalam beberapa kasus yang terjadi, lahan ini menimbulkan celah koruptif di tingkatan level eksekutif birokrasi pendidikan.
            Jadi jangan heran jika di beberapa tempat, pendanaan pendidikan yang telah dianggarkan oleh pemerintah kemudian tidak sampai pada sasarannya. Dengan pembiayaan pendidikan berkualitas yang tidaklah kecil, anggaran pendidikan yang jarang sekali tepat pada sasarannya, otonomi sekolah dan kampus kemudian menganggap wajar jika kemudian para orang tua dan wali murid memiliki kewajiban untuk menanggung pembiayaan pendidikan anak-anaknya. Alhasil di beberapa institusi pendidikan yang bonafide, timbul pembengkakan biaya pendidikan. Bagi para mahasiswa, hal ini menimbulkan gerakan kritis penentangan yang ujungnya anarkis dan diantisipasi dengan tindakan represif pihak kampus.
            Gerakan-gerakan ini yang juga memotivasi para terpelajar di belahan dunia lainnya seperti yang terjadi baru-baru ini di Italia untuk turun ke jalan dengan tuntutan yang sama. Sebuah gerakan kritis-dialektis terhadap kebijakan negara yang mengurangi hak warga negara terhadap sektor publik terutama pendidikan. Pengurangan biaya pendidikan, pengembalian pembiayaan pendidikan ke negara, serta penetapan kembali pendidikan sebagai ranah publik yang dapat diakses oleh siapa saja sebagai bagian dari hak warga negara. Untuk pendidikan yang memanusiakan manusia, hak pendidikan dan akses pelayanannya yang lebih baik oleh publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar