Pendidikan dapat dimaknai sebagai sebuah proses
memanusiakan manusia. Definisi yang alih-alih tercapai ketika pendidikan
sebagai sebuah hak komunal manusia kemudian dicerabut dengan pemberian pelbagai
kewajiban pendanaan yang menciptakan jurang akses yang jauh berbeda antara
individu yang berada pada kelas sosial yang mapan secara materi-ekonomis dan
yang tidak. Kondisi ini kemudian menciptakan komunitas terpelajar yang memiliki
psikologis jamak kelas menengah ke atas, yang mana penumbuhan jiwa kritis antar
kelas sosial sebagai sebuah dialektika sosial menjadi nihil untuk terbentuk di kalangan
para terpelajar tersebut.
Dunia
pendidikan tinggi seringnya dipandang sebagai batu loncatan dari perpindahan
kelas sosial di masyarakat. Akses terhadap kampus yang bermutu dan bonafide
sering terhalang dengan beragam metode yang menghambat bakal calon mahasiswa
bukan saja dari aspek mutu nilai-bakat individual semata, namun juga budaya
hidup kelas sosialnya. Belum lagi persebaran beasiswa yang oleh para mahasiswa
diasumsikan sebagai bala bantuan materil yang sangat penting demi menunjang
kualitas pendidikannya.
Saat
ini sedang maraknya di seluruh belahan dunia mempermasalahkan tingginya biaya
pendidikan. Issue yang senyatanya menjadi klasik untuk dibicarakan tetapi tetap
menyentuh seluruh aspek kehidupan sosial karena merupakan sebuah permasalahan
bersama dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Pembiayaan pendidikan yang
tinggi menjadi sulit dijangkau oleh masyarakat dengan kelas ekonomi yang lemah.
Alhasil, jangankan untuk mencapai tingkat pendidikan tinggi seperti yang
dicita-citakan, anak-anak dari kelas ekonomi lemah ini sering terhenti proses
pendidikannya di level yang dicanangkan sebagai tingkatan wajib belajar oleh pemerintah
kita.
Menyoal
regulasi wajib belajar, konstitusi kita saling bertentangan dalam pemaknaan
wajib belajar sebagai sebuah hak namun memiliki konsekuensi kewajiban
pembiayaan yang itupun tidaklah kecil. Kebijakan otonomi sekolah melalui
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), acapkali menimbulkan dualisme kepentingan
antara menginginkan pendidikan yang bermutu dengan pendanaan sekolah yang
otonom, alih-alih dibiayai penuh oleh negara dalam perspektif kewajiban
pemenuhan kebutuhan publik. Alokasi dana yang telah dianggarkan oleh pemerintah
demi pembiayaan pendidikan dan perangkat-perangkatnya juga seringkali
menimbulkan ketidak-transparanan dalam tataran aplikasi dan menimbulkan tanda
tanya besar dalam penggunaannya. Dalam beberapa kasus yang terjadi, lahan ini
menimbulkan celah koruptif di tingkatan level eksekutif birokrasi pendidikan.
Jadi
jangan heran jika di beberapa tempat, pendanaan pendidikan yang telah
dianggarkan oleh pemerintah kemudian tidak sampai pada sasarannya. Dengan
pembiayaan pendidikan berkualitas yang tidaklah kecil, anggaran pendidikan yang
jarang sekali tepat pada sasarannya, otonomi sekolah dan kampus kemudian
menganggap wajar jika kemudian para orang tua dan wali murid memiliki kewajiban
untuk menanggung pembiayaan pendidikan anak-anaknya. Alhasil di beberapa
institusi pendidikan yang bonafide, timbul pembengkakan biaya pendidikan. Bagi
para mahasiswa, hal ini menimbulkan gerakan kritis penentangan yang ujungnya
anarkis dan diantisipasi dengan tindakan represif pihak kampus.
Gerakan-gerakan ini yang juga
memotivasi para terpelajar di belahan dunia lainnya seperti yang terjadi
baru-baru ini di Italia untuk turun ke jalan dengan tuntutan yang sama. Sebuah
gerakan kritis-dialektis terhadap kebijakan negara yang mengurangi hak warga
negara terhadap sektor publik terutama pendidikan. Pengurangan biaya
pendidikan, pengembalian pembiayaan pendidikan ke negara, serta penetapan
kembali pendidikan sebagai ranah publik yang dapat diakses oleh siapa saja
sebagai bagian dari hak warga negara. Untuk pendidikan yang memanusiakan
manusia, hak pendidikan dan akses pelayanannya yang lebih baik oleh publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar