Laman

Sabtu, 09 Juni 2012

Sejarah Tuhan

Disampaikan sebagai modul materi diskusi di HMI Komisariat FMIPA Unimed
Jum’at 18 Pebruari 2012 

Pembahasan mengenai ketuhanan sebagai sebuah substansi yang dibahas dan disebarluaskan oleh manusia terjadi bahkan sejak manusia masih belum memiliki sejarah. Dalam runutan sejarah, tuhan tercatat dalam banyak catatan oleh manusia-manusia lama baik itu berupa kitab yang ditulis oleh para penyebar keagamaan (nabi dan rasul serta para imam dan rahib), maupun “komentar-komentar” komprehensif mengenainya. Pengertian sejarah sendiri (dalam pembahasan kali ini mengenai “sejarah tuhan”) tidak melulu meletakkan sumber fakta dan datanya kepada hal-hal yang berbau aksara sebagai sebuah satuan bunyi yang tersusun dan memiliki makna regional-komunitas yang secara bersama menggunakannya dalam pembicaraan tertulis. Namun lebih dari itu, studi-studi arkeologik juga bisa saja untuk secara bebas, menjadi dasar rujukan sumber fakta dan data tentang bagaimana manusia pra-sejarah bertuhan dan menyembah (tuhan mereka).

Tidak dapat dipungkiri bahwa pembicaraan mengenai hal ini pastinya akan mengena pada hal-hal yang berbau kosmologik, baik itu mikro kosmos maupun makro kosmos. Alih-alih mengesampingkan hal tersebut, kondisi ini sudah menjadi sebuah pra-syarat untuk “berdiamnya” tuhan dalam pri-kehidupan manusia, terutama Homo Sapiens. Sebagai satuan spesies, Homo Sapiens yang menurunkan ras-ras manusia modern sekarang telah “berpikir” akan substansi superior lepas dari kondisi ketakutan mereka terhadap alam semesta yang pada saat itu belum dapat untuk ditaklukkannya. Tradisi yang bahkan pada zaman modern sekarang masih dapat ditemukan sebagai sebuah “tradisi” masyarakat dengan kecendrungan budaya yang masih “terbelakang” di beberapa belahan dunia.

A. Tuhan Kuno (30.000 SM – 1500 M)
Berburu dan Meramu
Tuhan pra-sejarah dimulai oleh spesies Homo Sapiens pada kurun waktu sekitar 30.000 SM hingga 1500 SM. Pada kurun waktu ini, hanya beberapa suku bangsa yang sudah “berhenti” dari menjadi pra-sejarah. Suku bangsa yang dikenal pertama kali mengenal aksara adalah suku bangsa Mesir (kuno) yang telah menggunakan hieroglif yang berbentuk gambar-gambar (piktografik) dengan penyebutan tertentu sebagai aksaranya terjadi dimulai pada kurun waktu sekitar 5000-3000 SM.  Dalam masa hingga kini, skema hieroglif dengan sedikit “penyempurnaan” masih dapat ditemukan yakni Kanji China, yang walaupun oleh beberapa ahli bahasa diklasifikasikan sebagai ideografik, namun masih memiliki kesamaan prinsip penggunaannya seperti hieroglif Mesir kuno.

Tradisi penyembahan tuhan pra-sejarah berikut sistem kepercayaannya tidak pernah terlepas dari tradisi shamanisme. Ras manusia yang hidup pada saat itu masih sangat bergantung pada kekuatan alam dimana alam semesta sebagai kosmos bergantung pada “alam bawah” yang menjadi rujukan ideal manusia pada umumnya pada saat itu. Ada pemahaman yang diasumsikan “berkembang” bahwa apa yang terjadi pada alam “fisik” merupakan sebuah pencerminan (masa lalu) dari para penetua dan akan berulang setiap “panggung” tersebut diputar kembali.

Penemuan-penemuan lukisan gua era palaeolitik merupakan rujukan bisu yang tidak dapat menjelaskan banyak hal mengenai tuhan-tuhan yang dikenal manusia pada era tersebut. Pemahaman umum mengenai tradisi “penyembahan” manusia pada saat itu tidak terlepas dari kredo animisme dan dinamisme. Seorang Shaman (dukun) merupakan individu yang memiliki pengetahuan dan digugu oleh kelompok masyarakatnya. Bahkan hingga saat ini, masih banyak penelitian menyangkut seperti apa tuhan-tuhan masa lalu ini disebut oleh kelompok masyarakat penyembahnya.

Konsep Ketuhanan Jaman Agraris Awal
Pada era ini, tuhan lebih diidentikkan dengan konsepsi kesuburan ketika manusia sudah berhenti menyandarkan pangan mereka pada daging. Kunjungan terhadap gua-gua palaeolitik dengan lukisan binatang pada dinding gua tersebut telah terhenti pada sekitar kurun waktu 9.000 SM. Ciri ketuhanan era ini lebih cenderung pada feminisme, dimana konsep tuhan bergantung pada bulan, vegetasi, air, perempuan dan kesuburan. Sentra penyembahan manusia pada era ini lebih kepada ciri “ibu yang bertahan untuk melahirkan” (Great Mother). Terdapat banyak peninggalan prasejarah layaknya lukisan gua pada era berburu di beberapa tempat di belahan dunia yang menunjukkan bagaimana pola berketuhanan masyarakat telah secara evolutif berganti dari “Penguasa Hewan” menjadi sosok “Sang Ibu” (dewi).  
  
Konsep Ketuhanan Jaman Agraris dan Beternak (Lanjut)
Pada era ini manusia mulai mengarahkan fokus perhatian mereka pada wujud (being), dimana konsep roh pertama kali meresap pada sendi kehidupan ketika mereka bersujud di atas batu yang hening namun memendam suatu nilai misteri kehidupan. Masyarakat Arya Kuno yang telah hidup di padang stepa pada kurun 4.500 SM, menetapkan konsep roh (sanskrit : manya) yang terselip di dalam diri mereka dan menjadi dasar dari segala aspek kehidupan. Bangsa Arya menetapkan sebutan devas (dewa : yang bersinar), dimana dalam kepercayaan mereka roh-roh ini lebih bercahaya sebagai sebuah individu daripada tersimpan di balik makhluk fana (manusia, hewan dan tumbuhan). Hingga menjelang abad 10 SM, terbentuk konsep Brahman sebagai entitas gaib yang menjadi sumber segala sesuatu, dimana Brahman lebih tinggi, dalam dan fundamental daripada dewa-dewa. Di Cina, konsep yang identik disebut Dao (Jalan fundamental kosmos). Konsep serupa juga dikenal di Mesopotamia yang dalam bahasa Akadia disebut ilam  dengan ciri utama keilahian yang disebut ellu (kekudusan). Bagi orang-orang Israel sendiri varian dari konsep ellu dikenal sebagai elloihim.

Perkembangan lebih lanjut konsep keilahian bermetamorfosa pada entitas High God (Tuhan Maha Tinggi) ataupun Sky God (Tuhan Langit). Dalam banyak bahasa hal ini dikenal dengan Dyaeus Pitr (Arya), Tian (Cina), Arab : Allah (Sky God / Tuhan Langit) dan dalam pemahaman bangsa Suriah El Elyon. Pemahaman tuhan yang tinggi dan jauh ini kemudian dianggap mubazir karena penyembahan terhadapnya tidak dapat diejawantahkan dalam praktek-praktek khusus kehidupan manusia. Di Yunani Kuno terdapat mythologi yang menceritakan bagaimana Uranus (Tuhan Langit) dikebiri secara brutal oleh putranya Kronos, yang kemudian juga dienyahkan oleh tuhan yang lebih muda yaitu Zeus yang berdiam lebih dekat dengan manusia yaitu di gunung Olympus.

Penemuan aksara terjadi berkisar pada abad-abad ini, dengan terkumpulnya beragam konsep dari masa lalu, manusia memikirkan lebih banyak lagi mythos untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan praktis manusia tentang perikehidupannya. Dimulai dari konsep penciptaan alam semesta, doktrin ketuhanan, nalar pseudo-ilmiah dan keimanan, segala hal ini melengkapi beragam kompleksitas kondisi keagamaan dan ketuhanan itu sendiri. Singkatnya, doktrin kredo penyembahan berhala (wakil tuhan yang dapat dijangkau) dan para dewa kuno berikut skema dan pola keagamaannya berkembang dengan baik pada era ini. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa pada hampir seluruh belahan bumi yang berperadaban, konsepsi-konsepsi ini berkembang dengan cukup baik seiring dengan revolusi agraria yang terjadi dari segi ekonomi manusia.

B. Tuhan Modern (1500 M – sekarang)
Banyak pendapat yang meletakkan dasar jaman modern adalah ketika Christopher Columbus menyeberangi Samudera Atlantik untuk menemukan dunia baru. Hal ini adalah nihil jika ternyata Columbus tidak menggunakan berbagai pemahaman pengetahuan (sains) yang berasal dari zaman baru (modern). Bisa dikatakan bahwa mulai dari era ini manusia semakin mempercayai kegunaan ilmu pengetahuan (sains), sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa entitas keilahian yang berkembang sebagai sebuah pemahaman pada jaman sebelumnya menjadi mulai terpinggirkan. Renaissance Eropa sebagai sebuah gerakan pemikiran yang meletakkan bangsa Eropa sebagai pusat keunggulan pemikiran dan budaya, pada dasarnya merupakan gerakan yang mendobrak eksistensi gereja sebagai sebuah otoritas keagamaan yang untuk kemudian diasumsikan ortodoks.

Imperialisme yang terjadi berikutnya, terlepas dari paradigma eksploitatif antara bangsa dengan kemampuan ilmu pengetahuan tinggi terhadap bangsa dengan kemampuan ilmu pengetahuan yang lebih rendah, merupakan dampak positif ketika manusia pada akhirnya mulai menaklukkan alam (dan manusia lainnya). Ketergantungan manusia pada kekuatan alam semesta sedikit demi sedikit dikesampingkan dan berganti pada kondisi eksploitatif manusia terhadap alam itu sendiri dengan menihilkan nilai sakral yang sebelumnya dijaga dengan ketat (profan). Tidak dapat dipungkiri bahwa pada era ini telah terjadi bentrokan besar antara sains dan agama, dimana doktrin dan dogma agama yang sebelumnya digugu, kemudian dibongkar dan ditelanjangi (sekuler) untuk membuat celah besar bagi ilmu pengetahuan untuk dapat merambahnya. Hingga pada akhirnya tidak ada bidang kehidupan manusia lagi yang tidak tersentuh oleh sains dan teknologi.

Ateisme-ilmiah atau bagi para individu yang lebih peragu agnostisisme menjadi ciri bagi manusia modern. Fakta-fakta agama kemudian dibongkar, kebenaran tunggal dihancurkan, dekonstruksi besar-besaran terhadap agama dan keilahian, manusia terus mengejar kondisi dimana manusia dapat menggeser tempat dan kedudukan tuhan-tuhan kuno yang selama ini diasumsikan adigung. Beberapa ajaran agama tidak dapat dipungkiri terombang-ambing untuk tak mampu mempertahankan umatnya lagi untuk percaya dengan kredo lama mereka. Alhasil tiada solusi yang lebih baik daripada melakukan klaim saintifik atas kebenaran kuno mereka.

Ciri-ciri seperti ini banyak ditemukan pada agama-agama yang masih bertahan hingga dasawarsa ini. Alih-alih kehilangan muka karena tuhan sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan jaman, agama-agama coba mengawinkan fakta-fakta ilmiah dengan keimanan yang telah ada dan tersisa, dan sedikit banyak memodifikasi atau bahkan menyembunyikan bagian-bagian dari keimanan mereka yang tak dapat terbuktikan dengan metode saintifik. Agama dan tuhan telah menjadi sebuah tradisi kuno yang masih dipertanyakan kemampuan adaptifnya di jaman sekarang. Era ini untuk kemudian berkembang dengan lebih cepat dengan beragam penemuan baru yang akumulatif hingga era digitalisasi. Walaupun untuk beberapa disiplin keilmuan masih menggunakan tabula rasa sebagai dasar kebenaran-metodologisnya (seperti seni dan filsafat), namun untuk menyandarkan kebenaran agama pada metodologi tersebut bukanlah solusi yang cukup baik untuk dapat mempertahankan tuhan sebagai superior being yang masih dapat dipercaya keberadaannya oleh manusia modern.

Agama-agama seperti Yahudi, Nasrani (Kristen) dan Islam secara tertatih-tatih melakukan modifikasi-modifikasi ini. Kabbalisme Yahudi (Neo), merupakan kondisi represif kegembiraan ummat Yahudi yang ditekan keras pada masa Ferdinand dari Portugal. Nasrani bahkan mengalami nasib yang tragis dengan mengalami perpecahan dalam tubuhnya dengan lahirnya kaum Protestan. Islam yang sejak dahulu telah mengutamakan ilmu pengetahuan (‘ilm) hanya setingkat di bawah doktrin tauhid, harus rela mempertahankan kredonya dengan bersandarkan pada prinsip filsafat idealistik. Walaupun cukup berhasil dalam mempertahankan dogma ajarannya tetap relevan, namun fakta bahwa banyak bangsa yang notabene muslim mengalami fase penjajahan fisik dari bangsa Eropa, menempatkan mental mereka sebagai mental kaum terjajah yang alih-alih inklusif menerima realitas dunia saat ini namun menjadi reaksioner terhadap berbagai issue dan menjadi barbar dalam penerapan aplikasi solusinya.

Bahkan hingga awal era digitalisasi, pertarungan antara agama dan sains masih tetap berlanjut. Beberapa kebijaksanaan kuno tetap dapat merembes sebagai sebuah ekstasi untuk relaksasi dan pelarian manusia kepada kondisi ketenangan transeden, yang pada era dewasa ini sudah nihil untuk dapat mendapatkan nilai signifikansi positif pengalaman impersonal. Seperti kaum muda Eropa yang menolak untuk pergi ke gereja, mereka tertarik untuk mencari pengalaman transeden yang lebih menantang namun tetap egaliter yaitu dengan pergi bertapa ke Kathmandu, berguru pada para yogi India atau mengamalkan ketenangan Zen demi untuk sedikit saja menolak arogansi ilmiah yang menentang segala nilai sakral. Namun walaupun begitu, nilai sakramen dari ritus-ritus pelarian yang dilakukan oleh manusia-manusia ini pasti sangatlah berbeda karena distorsi kebenaran yang mempengaruhi nalar mereka terhadap kredo keimanan dari ajaran-ajaran kuno ini.

Nihilisme Nietzsche dengan slogan populernya Gott ist tot (tuhan telah mati), walaupun menimbulkan reaksi yang populis bagi segenap kaum muda era dasawarsa 60’an dan bahkan berhasil sebagai cambuk untuk membangun Gereja Atheis di Amerika, namun tetap masih dipertanyakan tentang kondisi penolakan ketuhanannya. Mayoritas pemeluk ateisme ini sendiri adalah para kaum muda kulit putih yang secara aneh berteriak anti-penindasan oleh para dewa (tuhan) kuno, namun disisi yang berbeda merupakan kaum yang dikenal luas rasis dan sendirinya adalah penindas. Pengikisan ini secara kulminatif berlangsung satu dekade kemudian dimana pada era 70’an terjadilah gerakan-gerakan fundamentalis yang menolak eksistensi keilmiahan (sains) dan berusaha untuk menarik tradisi-tradisi kuno demi mengisi ruang kosong psikologis manusia yang tidak dapat diisi dengan pengalaman ilmiah-empirik.

Terlalu dini untuk menempatkan tuhan sebagai sebuah entitas yang telah mati. Kaum muda modern yang tersadarkan telah memulai gerakan yang menolak penenang modern dalam bentuk alkohol dan hal lainnya yang serupa untuk kembali pada pengalaman-pengalaman kuno yang bersumber pada kebijaksanaan-kebijaksanaan kuno yang telah tersingkirkan oleh ilmu pengetahuan modern selama beberapa abad. Trend dalam era digital kini adalah mencari dan menguji pemahaman kebenaran ketuhanan tersebut dan secara empirik melalui tabula rasa berusaha untuk menggapai nilai transeden serupa seperti yang tertulis pada manuskrip-manuskrip kuno dan diajarkan dengan sangat sakral secara turun-temurun di negeri-negeri timur. Konsekuensi dari perkembangan filsafat-kosmologis ini adalah kembalinya peradaban yang memperlakukan alam semesta sebagai sahabat (Green Philosophy), dengan gerakan-gerakan yang mencintai alam semesta dan berusaha menjaga keperawanannya untuk dapat dinikmati kembali nuansa-nuansa alaminya (nature). Dengan prekondisi ini, muncul asumsi untuk lokasi dimana terdapat lokasi penting (sakral) bagi manusia untuk dapat mencapai pengalaman ketuhanan, seperti berabad-abad lalu telah dilakukan oleh nenek moyang manusia yang menyelam jauh ke pusat bumi demi mendapatkannya.

Rujukan bacaan lebih lanjut:
Armstrong, Karen. 2011. Masa Depan Tuhan (Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme). Bandung : Mizan.
Armstrong, Karen. 2006. Sejarah Tuhan. Bandung : Mizan.
Fromm, Erich. 2007. Revolusi Pengharapan (Menuju Masyarakat Teknologi yang Semakin Manusiawi). Jakarta : Pelangi Cendekia.
Piliang, Yasraf Amir. 2007. Tuhan-tuhan Digital. Yogyakarta : Jalasutra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar