Disampaikan
sebagai modul materi diskusi di HMI Komisariat FMIPA Unimed
Jum’at 18
Pebruari 2012
Pembahasan mengenai ketuhanan sebagai
sebuah substansi yang dibahas dan disebarluaskan oleh manusia terjadi bahkan
sejak manusia masih belum memiliki sejarah. Dalam runutan sejarah, tuhan
tercatat dalam banyak catatan oleh manusia-manusia lama baik itu berupa kitab
yang ditulis oleh para penyebar keagamaan (nabi dan rasul serta para imam dan
rahib), maupun “komentar-komentar” komprehensif mengenainya. Pengertian sejarah
sendiri (dalam pembahasan kali ini mengenai “sejarah tuhan”) tidak melulu
meletakkan sumber fakta dan datanya kepada hal-hal yang berbau aksara sebagai
sebuah satuan bunyi yang tersusun dan memiliki makna regional-komunitas yang
secara bersama menggunakannya dalam pembicaraan tertulis. Namun lebih dari itu,
studi-studi arkeologik juga bisa saja untuk secara bebas, menjadi dasar rujukan
sumber fakta dan data tentang bagaimana manusia pra-sejarah bertuhan dan
menyembah (tuhan mereka).
Tidak dapat dipungkiri bahwa
pembicaraan mengenai hal ini pastinya akan mengena pada hal-hal yang berbau
kosmologik, baik itu mikro kosmos maupun makro kosmos. Alih-alih
mengesampingkan hal tersebut, kondisi ini sudah menjadi sebuah pra-syarat untuk
“berdiamnya” tuhan dalam pri-kehidupan manusia, terutama Homo Sapiens. Sebagai satuan spesies, Homo Sapiens yang menurunkan ras-ras manusia modern sekarang telah
“berpikir” akan substansi superior lepas dari kondisi ketakutan mereka terhadap
alam semesta yang pada saat itu belum dapat untuk ditaklukkannya. Tradisi yang
bahkan pada zaman modern sekarang masih dapat ditemukan sebagai sebuah
“tradisi” masyarakat dengan kecendrungan budaya yang masih “terbelakang” di
beberapa belahan dunia.
A. Tuhan Kuno (30.000 SM – 1500 M)
Berburu dan Meramu
Tuhan pra-sejarah dimulai oleh
spesies Homo Sapiens pada kurun waktu
sekitar 30.000 SM hingga 1500 SM. Pada kurun waktu ini, hanya beberapa suku
bangsa yang sudah “berhenti” dari menjadi pra-sejarah. Suku bangsa yang dikenal
pertama kali mengenal aksara adalah suku bangsa Mesir (kuno) yang telah
menggunakan hieroglif yang berbentuk gambar-gambar (piktografik) dengan penyebutan tertentu sebagai aksaranya terjadi
dimulai pada kurun waktu sekitar 5000-3000 SM. Dalam masa hingga kini, skema hieroglif dengan
sedikit “penyempurnaan” masih dapat ditemukan yakni Kanji China, yang walaupun
oleh beberapa ahli bahasa diklasifikasikan sebagai ideografik, namun masih memiliki kesamaan prinsip penggunaannya
seperti hieroglif Mesir kuno.
Tradisi penyembahan tuhan pra-sejarah
berikut sistem kepercayaannya tidak pernah terlepas dari tradisi shamanisme. Ras manusia yang hidup pada
saat itu masih sangat bergantung pada kekuatan alam dimana alam semesta sebagai
kosmos bergantung pada “alam bawah” yang menjadi rujukan ideal manusia pada
umumnya pada saat itu. Ada pemahaman yang diasumsikan “berkembang” bahwa apa
yang terjadi pada alam “fisik” merupakan sebuah pencerminan (masa lalu) dari
para penetua dan akan berulang setiap “panggung” tersebut diputar kembali.
Penemuan-penemuan lukisan gua era
palaeolitik merupakan rujukan bisu yang tidak dapat menjelaskan banyak hal
mengenai tuhan-tuhan yang dikenal manusia pada era tersebut. Pemahaman umum mengenai tradisi “penyembahan” manusia
pada saat itu tidak terlepas dari kredo animisme dan dinamisme. Seorang Shaman
(dukun) merupakan individu yang memiliki pengetahuan dan digugu oleh kelompok
masyarakatnya. Bahkan hingga saat ini, masih banyak penelitian menyangkut
seperti apa tuhan-tuhan masa lalu ini disebut oleh kelompok masyarakat
penyembahnya.
Konsep Ketuhanan Jaman Agraris Awal
Pada era
ini, tuhan lebih diidentikkan dengan konsepsi kesuburan ketika manusia sudah
berhenti menyandarkan pangan mereka pada daging. Kunjungan terhadap gua-gua
palaeolitik dengan lukisan binatang pada dinding gua tersebut telah terhenti
pada sekitar kurun waktu 9.000 SM. Ciri ketuhanan era ini lebih cenderung pada
feminisme, dimana konsep tuhan bergantung pada bulan, vegetasi, air, perempuan
dan kesuburan. Sentra penyembahan manusia pada era ini lebih kepada ciri “ibu yang bertahan untuk melahirkan”
(Great Mother). Terdapat banyak peninggalan prasejarah layaknya lukisan gua
pada era berburu di beberapa tempat di belahan dunia yang menunjukkan bagaimana
pola berketuhanan masyarakat telah secara evolutif berganti dari “Penguasa
Hewan” menjadi sosok “Sang Ibu” (dewi).
Konsep Ketuhanan Jaman Agraris dan
Beternak (Lanjut)
Pada era
ini manusia mulai mengarahkan fokus perhatian mereka pada wujud (being), dimana
konsep roh pertama kali meresap pada sendi kehidupan ketika mereka bersujud di
atas batu yang hening namun memendam suatu nilai misteri kehidupan. Masyarakat
Arya Kuno yang telah hidup di padang stepa pada kurun 4.500 SM, menetapkan
konsep roh (sanskrit : manya)
yang terselip di dalam diri mereka
dan menjadi dasar dari segala aspek kehidupan. Bangsa Arya menetapkan sebutan devas (dewa : yang bersinar),
dimana dalam kepercayaan mereka roh-roh ini lebih bercahaya sebagai sebuah
individu daripada tersimpan di balik makhluk fana (manusia, hewan dan
tumbuhan). Hingga menjelang abad 10 SM, terbentuk konsep Brahman sebagai entitas gaib yang menjadi sumber segala sesuatu,
dimana Brahman lebih tinggi, dalam
dan fundamental daripada dewa-dewa. Di Cina, konsep yang identik disebut Dao (Jalan fundamental kosmos). Konsep
serupa juga dikenal di Mesopotamia yang dalam bahasa Akadia disebut ilam dengan ciri utama keilahian yang disebut ellu (kekudusan). Bagi orang-orang
Israel sendiri varian dari konsep ellu
dikenal sebagai elloihim.
Perkembangan
lebih lanjut konsep keilahian bermetamorfosa pada entitas High God (Tuhan Maha Tinggi) ataupun Sky God (Tuhan Langit). Dalam banyak bahasa hal ini dikenal dengan
Dyaeus Pitr (Arya), Tian (Cina), Arab : Allah (Sky God / Tuhan Langit) dan dalam pemahaman bangsa Suriah El Elyon. Pemahaman tuhan yang tinggi
dan jauh ini kemudian dianggap mubazir
karena penyembahan terhadapnya tidak dapat diejawantahkan dalam praktek-praktek
khusus kehidupan manusia. Di Yunani Kuno terdapat mythologi yang menceritakan
bagaimana Uranus (Tuhan Langit)
dikebiri secara brutal oleh putranya Kronos, yang kemudian juga dienyahkan oleh
tuhan yang lebih muda yaitu Zeus yang berdiam lebih dekat dengan manusia yaitu
di gunung Olympus.
Penemuan
aksara terjadi berkisar pada abad-abad ini, dengan terkumpulnya beragam konsep
dari masa lalu, manusia memikirkan lebih banyak lagi mythos untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan praktis manusia tentang
perikehidupannya. Dimulai dari konsep penciptaan alam semesta, doktrin
ketuhanan, nalar pseudo-ilmiah dan
keimanan, segala hal ini melengkapi beragam kompleksitas kondisi keagamaan dan
ketuhanan itu sendiri. Singkatnya, doktrin kredo penyembahan berhala (wakil
tuhan yang dapat dijangkau) dan para dewa kuno berikut skema dan pola
keagamaannya berkembang dengan baik pada era ini. Dan tidak dapat dipungkiri
bahwa pada hampir seluruh belahan bumi yang berperadaban, konsepsi-konsepsi ini
berkembang dengan cukup baik seiring dengan revolusi agraria yang terjadi dari
segi ekonomi manusia.
B. Tuhan Modern (1500 M – sekarang)
Banyak
pendapat yang meletakkan dasar jaman modern adalah ketika Christopher Columbus
menyeberangi Samudera Atlantik untuk menemukan dunia baru. Hal ini adalah nihil jika ternyata Columbus tidak
menggunakan berbagai pemahaman pengetahuan (sains) yang berasal dari zaman baru
(modern). Bisa dikatakan bahwa mulai dari era ini manusia semakin mempercayai
kegunaan ilmu pengetahuan (sains), sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa
entitas keilahian yang berkembang sebagai sebuah pemahaman pada jaman
sebelumnya menjadi mulai terpinggirkan. Renaissance Eropa sebagai sebuah
gerakan pemikiran yang meletakkan bangsa Eropa sebagai pusat keunggulan
pemikiran dan budaya, pada dasarnya merupakan gerakan yang mendobrak eksistensi
gereja sebagai sebuah otoritas keagamaan yang untuk kemudian diasumsikan
ortodoks.
Imperialisme
yang terjadi berikutnya, terlepas dari paradigma eksploitatif antara bangsa
dengan kemampuan ilmu pengetahuan tinggi terhadap bangsa dengan kemampuan ilmu
pengetahuan yang lebih rendah, merupakan dampak positif ketika manusia pada
akhirnya mulai menaklukkan alam (dan manusia lainnya). Ketergantungan manusia
pada kekuatan alam semesta sedikit demi sedikit dikesampingkan dan berganti
pada kondisi eksploitatif manusia terhadap alam itu sendiri dengan menihilkan
nilai sakral yang sebelumnya dijaga dengan ketat (profan). Tidak dapat dipungkiri
bahwa pada era ini telah terjadi bentrokan besar antara sains dan agama, dimana
doktrin dan dogma agama yang sebelumnya digugu, kemudian dibongkar dan
ditelanjangi (sekuler) untuk membuat celah besar bagi ilmu pengetahuan untuk
dapat merambahnya. Hingga pada akhirnya tidak ada bidang kehidupan manusia lagi
yang tidak tersentuh oleh sains dan teknologi.
Ateisme-ilmiah
atau bagi para individu yang lebih peragu agnostisisme menjadi ciri bagi
manusia modern. Fakta-fakta agama kemudian dibongkar, kebenaran tunggal
dihancurkan, dekonstruksi besar-besaran terhadap agama dan keilahian, manusia
terus mengejar kondisi dimana manusia dapat menggeser tempat dan kedudukan
tuhan-tuhan kuno yang selama ini diasumsikan adigung. Beberapa ajaran agama
tidak dapat dipungkiri terombang-ambing untuk tak mampu mempertahankan umatnya
lagi untuk percaya dengan kredo lama mereka. Alhasil tiada solusi yang lebih
baik daripada melakukan klaim saintifik atas kebenaran kuno mereka.
Ciri-ciri
seperti ini banyak ditemukan pada agama-agama yang masih bertahan hingga
dasawarsa ini. Alih-alih kehilangan muka karena tuhan sudah tidak relevan lagi
dengan perkembangan jaman, agama-agama coba mengawinkan fakta-fakta ilmiah
dengan keimanan yang telah ada dan tersisa, dan sedikit banyak memodifikasi
atau bahkan menyembunyikan bagian-bagian dari keimanan mereka yang tak dapat
terbuktikan dengan metode saintifik. Agama dan tuhan telah menjadi sebuah
tradisi kuno yang masih dipertanyakan kemampuan adaptifnya di jaman sekarang. Era ini untuk kemudian berkembang
dengan lebih cepat dengan beragam penemuan baru yang akumulatif hingga era
digitalisasi. Walaupun untuk beberapa disiplin keilmuan masih menggunakan tabula rasa sebagai dasar
kebenaran-metodologisnya (seperti seni dan filsafat), namun untuk menyandarkan
kebenaran agama pada metodologi tersebut bukanlah solusi yang cukup baik untuk
dapat mempertahankan tuhan sebagai superior
being yang masih dapat dipercaya keberadaannya oleh manusia modern.
Agama-agama
seperti Yahudi, Nasrani (Kristen) dan Islam secara tertatih-tatih melakukan
modifikasi-modifikasi ini. Kabbalisme Yahudi (Neo), merupakan kondisi represif
kegembiraan ummat Yahudi yang ditekan keras pada masa Ferdinand dari Portugal.
Nasrani bahkan mengalami nasib yang tragis dengan mengalami perpecahan dalam
tubuhnya dengan lahirnya kaum Protestan. Islam yang sejak dahulu telah
mengutamakan ilmu pengetahuan (‘ilm)
hanya setingkat di bawah doktrin tauhid,
harus rela mempertahankan kredonya dengan bersandarkan pada prinsip filsafat idealistik.
Walaupun cukup berhasil dalam mempertahankan dogma ajarannya tetap relevan,
namun fakta bahwa banyak bangsa yang notabene muslim mengalami fase penjajahan
fisik dari bangsa Eropa, menempatkan mental mereka sebagai mental kaum terjajah yang alih-alih inklusif
menerima realitas dunia saat ini namun menjadi reaksioner terhadap berbagai
issue dan menjadi barbar dalam
penerapan aplikasi solusinya.
Bahkan
hingga awal era digitalisasi, pertarungan antara agama dan sains masih tetap
berlanjut. Beberapa kebijaksanaan kuno tetap dapat merembes sebagai sebuah
ekstasi untuk relaksasi dan pelarian manusia kepada kondisi ketenangan
transeden, yang pada era dewasa ini sudah nihil untuk dapat mendapatkan nilai
signifikansi positif pengalaman impersonal. Seperti kaum muda Eropa yang
menolak untuk pergi ke gereja, mereka tertarik untuk mencari pengalaman
transeden yang lebih menantang namun tetap egaliter yaitu dengan pergi bertapa
ke Kathmandu, berguru pada para yogi India atau mengamalkan ketenangan Zen demi
untuk sedikit saja menolak arogansi ilmiah yang menentang segala nilai sakral.
Namun walaupun begitu, nilai sakramen dari ritus-ritus pelarian yang dilakukan oleh manusia-manusia ini pasti sangatlah
berbeda karena distorsi kebenaran yang mempengaruhi nalar mereka terhadap kredo
keimanan dari ajaran-ajaran kuno ini.
Nihilisme
Nietzsche dengan slogan populernya Gott
ist tot (tuhan telah mati), walaupun menimbulkan reaksi yang populis bagi
segenap kaum muda era dasawarsa 60’an dan bahkan berhasil sebagai cambuk untuk
membangun Gereja Atheis di Amerika, namun tetap masih dipertanyakan tentang
kondisi penolakan ketuhanannya. Mayoritas pemeluk ateisme ini sendiri adalah
para kaum muda kulit putih yang secara aneh
berteriak anti-penindasan oleh para dewa (tuhan) kuno, namun disisi yang
berbeda merupakan kaum yang dikenal luas rasis dan sendirinya adalah penindas.
Pengikisan ini secara kulminatif berlangsung satu dekade kemudian dimana pada
era 70’an terjadilah gerakan-gerakan fundamentalis yang menolak eksistensi
keilmiahan (sains) dan berusaha untuk menarik tradisi-tradisi kuno demi mengisi
ruang kosong psikologis manusia yang tidak dapat diisi dengan pengalaman
ilmiah-empirik.
Terlalu
dini untuk menempatkan tuhan sebagai sebuah entitas yang telah mati. Kaum muda
modern yang tersadarkan telah memulai gerakan yang menolak penenang modern dalam bentuk alkohol dan hal lainnya yang serupa
untuk kembali pada pengalaman-pengalaman kuno yang bersumber pada
kebijaksanaan-kebijaksanaan kuno yang telah tersingkirkan oleh ilmu pengetahuan
modern selama beberapa abad. Trend dalam era digital kini adalah mencari dan
menguji pemahaman kebenaran ketuhanan tersebut dan secara empirik melalui tabula rasa berusaha untuk menggapai
nilai transeden serupa seperti yang tertulis pada manuskrip-manuskrip kuno dan
diajarkan dengan sangat sakral secara turun-temurun di negeri-negeri timur.
Konsekuensi dari perkembangan filsafat-kosmologis ini adalah kembalinya
peradaban yang memperlakukan alam semesta sebagai sahabat (Green Philosophy), dengan gerakan-gerakan yang mencintai alam
semesta dan berusaha menjaga keperawanannya
untuk dapat dinikmati kembali nuansa-nuansa alaminya (nature). Dengan prekondisi ini, muncul asumsi untuk lokasi dimana
terdapat lokasi penting (sakral) bagi
manusia untuk dapat mencapai pengalaman ketuhanan, seperti berabad-abad lalu
telah dilakukan oleh nenek moyang manusia yang menyelam jauh ke pusat bumi demi
mendapatkannya.
Rujukan bacaan lebih lanjut:
Armstrong, Karen. 2011. Masa Depan Tuhan (Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme).
Bandung : Mizan.
Armstrong, Karen. 2006. Sejarah Tuhan. Bandung : Mizan.
Fromm, Erich. 2007. Revolusi Pengharapan (Menuju Masyarakat Teknologi yang Semakin
Manusiawi). Jakarta : Pelangi Cendekia.
Piliang, Yasraf Amir. 2007. Tuhan-tuhan Digital. Yogyakarta :
Jalasutra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar